Minggu, 20 November 2011

MEMBANGUN DAERAH YANG BERBASIS PENDIDIKAN

MEMBANGUN DAERAH YANG BERBASIS PENDIDIKAN

Oleh Junaidi*

Bila kita lihat bahwa krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia (seperti tingginya angka pengangguran, meningkatnya masyarakat miskin, rendahnya daya beli masyarakat, makin maraknya kerusuhan, HIV/AIDS, peringkat korupsi Indonesia di dunia, dan lain-lain) secara substansial diakibatkan mutu sumber daya manusia Indonesia yang masih rendah.

Kita sudah memahami bersama bahwa kepemimpinan adalah inti manajemen, dan oleh sebab itu meningkatkan kemampuan manajemen merupakan sebuah keharusan jika keberhasilan pelaksanaan pendidikan dalam era otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan diharapkan berhasil. Peningkatan kemampuan manajemen dapat dilakukan melalui kepemimpinan yang dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi terjadinya inovasi dan perubahan-perubahan dengan menggunakan berbagai perangkat teknologi komunikasi dan informasi.

Adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, telah mengubah segala peraturan yang bersifat sentralis menjadi desentralis, di mana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Pemerintah Daerah dapat melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya membangun daerahnya termasuk dalam bidang pendidikan.

Selanjutnya Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Hal tersebut diharapakan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso, maupun mikro. Kerangka makro erat kaitannya dengan upaya politik yaitu desentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten, sedangkan aspek mikro melibatkan seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang paling bawah, tetapi terdepan dalam pelaksanaannya bertumpu pada sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.

MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai dengan seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pembangunan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Partisipan lokal sekolah tak lain adalah Kepala Sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa. Sehubungan dengan pendapat tersebut, bahwa aspek politik dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat bawah menjadi tanggung jawab sekolah karena kewenangan dan kekuasaan yang selama ini terkonsentrasi pada pemerintah diserahkan ke sekolah sebagai penyelenggara pendidikan di masyarakat.

Manajemen kepala sekolah hendaknya juga terbuka. Kepala Sekolah secara transparan menjelaskan tentang pengelolaan sekolah, dalam hal penyelenggaraan program-program pendidikan, Sumber Daya Manusia, keuangan, dan sebagainya. Dengan demikian maka masyarakat akan mengetahui apa yang dilakukan oleh sekolah dan kemudian memberikan masukan dan dukungan terhadap program-program sekolah.

Proses kreatif dalam merencanakan strategi, kebijakan dan program kerja suatu organisasi dengan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan internal dan eksternal organisasi dinas pendidikan tersebut, baik pada sisi positif maupun sisi negatifnya . Jadi, analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi institusi/organisasi, dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun pada saat bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman

Politik daerah yang terlalu ikut campur dalam pendidikan sangat merugikan dunia pendidikan. Ketika urusan guru berada di tangan daerah, posisi guru sangat rentan dipindah karena kepentingan politik atau masalah pribadi. Pengangkatan kepala sekolah tidak lagi objektif berdasarkan hasil tes calon kepala sekolah. Akan tetapi lebih berdasarkan subyektif dari penguasa di daerah, dengan hanya melalui tawaran melalui telepon. Akibatnya centralistis dalam dunia pendidikan tidak terelakkan yang membuat pemimpin pendidikan yang otoriter dan dictator.

Desentralisasi pendidikan telah berlangsung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan, semua urusan negara diserahkan ke daerah kecuali enam perkara, yakni keuangan, pengadilan, kehakiman, luar negeri, agama, dan pertahanan keamanan.

keterlibatan kontrol publik masih diposisikan terpisah dalam kebijakan Pemerintahan Daerah. Akibatnya terdapat peralihan milik kebijakan publik ke arah kebijakan yang samar, bahkan hanya menjadi elite kebijakan. walaupun ada political will Pemerintahan Daerah, juga masih dipenuhi oleh proses kedekatan dengan kelompok elite kebijakan, seperti eksekutif dan legislatif.

Dalam kebijakan pendidikan dibutuhkan komitmen kuat dari daerah untuk mengembangkan standar nasional pendidikan. Hal ini sangat penting untuk memenuhi tantangan pertumbuhan ekonomi yang makin pesat. Kompetensi standar kelulusan akan melahirkan manusia-manusia yang unggul dari daerah-daerah. Komitmen yang dimaksud adalah berupa alokasi anggaran yang lebih besar untuk pengembangan mutu pendidikan melalui pemenuhan kebutuhan agar standar pelayanan minimal mampu diimplementasi. paradigma pembangunan daerah dari fisik ke non fisik. Masih banyak diorientasikan ke pembangunan fisik daripada investasi pembangunan dalam bidang sumber daya manusia (non fisik). Hal ini dapat menimbulkan dampak kesenjangan sosial, terutama bagi para pendidik atau tenaga kependidikan dengan para pegawai kantoran. Dan perbedaan SDM yang dimiliki oleh para peserta didik dengan pegawai- pegawai lain. Di tengah maraknya praktik KKN, dunia pendidikan justru mengerang kesakitan lantaran gedung-gedung sekolah yang rusak berat, gaji guru yang seolah menghina kemuliaan profesi tersebut. Paparan di atas menyiratkan tanggung jawab multipihak dalam konsep desentralisasi pendidikan. Fastabiqul Khairat

* Guru PKn SMKN 03 Mukomuko