Selasa, 28 Juni 2011

lafaz musytarak


MUSYTARAK BI LAFZIYAH
(Makalah Perbaikan)
Disusun Oleh
Junaidi



Dosen Pembimbing:
Prof DR Nasroen Haroen



KOSENTRASI HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
2011

LAFADZ MUSYTARAK
Oleh : Junaidi
  1. Pendahuluan
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li an-nas dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS. Ibrahim 14 : 1).
Al-Qur’an merupakan sebagai pusat ajaran Islam. Kitab suci yang menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmi-ilmu keislaman, tetapi juga sebagai inspirator, pemandu dan pemadu dalam gerakan-gerakan umat Islam sepanjang abad empat belas abad silam. Jika demikian, pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsiran dan pendalaman ilmu kebahasaan, mempunyai peranan penting bagi maju-mundurnya umat Islam terlebih dalam konteks masa kini guna memberikan solusi terhadap problematika umat yang semakin menggelobal.
Oleh karena itu, makalah kecil ini akan mencoba memberikan sedikit wawasan tentang bagaimana memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang musytarak dan ketentuan-ketentuan hukumnya.
  1. Pembahasan
a. Pengertian
Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اشترك yang berarti bersekutu seperti dalam ungkapan اشترك القوم yang berarti “kaum itu bersekutu”. [1]
Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama’ ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah anatara lain:
§ Menurut Ibn Al-Hajib dalam kitab Syarah Al-Mufasshal : [2]
اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين اواكثر دلالة على السوأ عند اهل تلك اللغة
“ Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
§ Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
لفظ يتناول افرادا مختلفة الحدود على سبيل البدل
Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”. Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya.[3]
Seperti kata قرء yang dalam pemakaian bahasa Arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidl, lafadz عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai (jasus) dan emas[4], kataيد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata سنة dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi [5]



b. Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa Arab sangatl banyak sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
1. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah Arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna[6]. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna(كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف) Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan. [7]
2. Terjadinya perkembangan perluasan makna satu lafadz dari makna asal, seperti lafadz فتن yang asalnya bermakna المعدن فى النار (logam/barang tambang dalam api) selanjutnya digunakan untuk menunjukkan arti الاضطهاد فى الدين (penindasan agama) kemudian bermakna الوقوع فى الضلال (terjerumus dalam kesesatan).[8]
3. Terjadinya makna yang berkisar/keragu-raguaan تردد) ) antara makna hakiki dan majaz.
4. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد) ) antara makna hakiki dan makna istilah urfi. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاة yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.[9]



c. Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak
                Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
a) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’[10], kecuali ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.[11]
b) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat Arab pada saat turunnya nash tersebut. [12]
c) Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut golongan hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan malikiyah dan syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.[13]
d. Contoh-Contoh Lafadz Musytarak
1. Firman Allah swt. dalam Al-Baqarah : 229
“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah, bukan diartikan secara bahasa yang berarti melepaskan tali ikatan secara mutlaq.
“ Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”.
Lafadz الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu[14]. Berikut ini contoh lafadz الصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalm QS. Al-ahzab : 56
“ Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Lafadz الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa.[15] Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
2. Firman Allah Al-Baqarah : 228
“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
Lafadz Quru’ dalam pemakain bahasa Arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidl. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa Arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidl. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidl. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).[16]
3. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 222
“ Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafadz المحيض dapat berarti masa/waktu haidl (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidl (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidl. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang Arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidl. [17]Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidl akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidl (qubul).

e. Musytarak  Dalam Al qur`an


Ia merupakan salah satu istilah yang banyak disebut dalam al-Qur’an dan tergolong kedalam lafadz musytarak (memiliki arti dan makna yang beragam) diantaranya lafadz itu disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 157;
أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.(Al-Baqarah 2:157)
Namun umumnya kalau kita mencermati al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia yang beredar, lafadz (رَحْمَة) sedikit sekali diterjemahkan dan umumnya lafadz itu menjadi sebuah istilah umum atau baku. Dalam Al-Qur’an digital versi 3.1 yang berafiliasi ke terjemahan DEPAG, lafadz (رَحْمَة) disebut 75 kali dan diterjemahkan dengan terjemah “kasih sayang” hanya 5 ayat (6:12,64, 17:24, 30:21, 57:27, 90:17) dan sisanya tidak diterjemahkan, sebagaimana tersebut dalam surat Al-An’am ayat 12 dan 133;
قُل لِّمَن مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ قُل لِلّهِ كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لاَ رَيْبَ فِيهِ الَّذِينَ خَسِرُواْ أَنفُسَهُمْ فَهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah". Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.(al-An’am 6:12)
وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ إِن يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَسْتَخْلِفْ مِن بَعْدِكُم مَّا يَشَاءُ كَمَا أَنشَأَكُم مِّن ذُرِّيَّةِ قَوْمٍ آخَرِينَ
Dan Tuhanmu Maha Kaya, lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain. (Al-An’am 6:133)
Keadaan seperti ini tentu memberikan dampak yang kurang baik terhadap pemahaman terhadap maksud suatu ayat atau pemahaman maksud lafadz رَحْمَةٌ dalam suatu ayat, apalagi bagi kaum muslimin yang hanya memahami kandungan al-Qur’an hanya melewati kitab terjemahan saja. Maka dengan pendekatan kaidah musytarak penerjemahan ayat yang memuat lafadz رَحْمَةٌ dapat dikoreksi. Sebab tidak ada alasan yang kuat mengapa lafadz رَحْمَةٌ tidak diterjemahkan atau hanya didalam tanda kurung ().
Rahmah (رَحْمَةٌ) atau rahmat berasal dari akar kata rahima-yarhamu- rahmah (رَحِمَ ـ يَرْحَمُ ـ رَحْمَةً). Di dalam berbagai bentuknya, kata ini terulang sebanyak 338 kali di dalam Al-Quran. Yakni, di dalam bentuk fi‘l mâdhi (kata kerja lampau) disebut 8 kali, fi‘l mudhâri‘ (kata kerja yang akan atau sedang dikerjakan) 15 kali, dan fi‘l amr (kata kerja perintah) 5 kali. Selebihnya disebut di dalam bentuk ism (kata benda) dengan berbagai bentuknya. Kata rahmah sendiri disebut sebanyak 145 kali.
Ibnu Faris dalam al-maqyis ; Juz 2 h. 498 menyebutkan bahwa;
(رحم) الراء والحاء والميم أصلٌ واحدٌ يدلُّ على الرّقّة والعطف والرأفة. يقال من ذلك رَحِمَه يَرْحَمُه، إذا رَقَّ له وتعطَّفَ عليه. والرُّحُْم والمَرْحَمَة والرَّحَْمة بمعنىً. والرَّحِم: عَلاقة القرابة، ثم سمِّيت رَحِمُ الأنثى رَحِماً من هذا، لأنّ منها ما يكون ما يُرْحَمُ وَيُرَقّ له مِن ولد
kata yang terdiri dari huruf ra, ha, dan mim, pada dasarnya menunjuk kepada arti “kelembutan hati”, “belas kasih”, dan “kehalusan”. Dari akar kata ini lahir kata rahima), yang memiliki arti “ikatan darah, persaudaraan, atau hubungan kerabat.” Penamaan rahim pada peranakan perempuan karena darinya terlahir anak yang akan menerima limpahan kasih sayang dan kelembutan hati.
Al-Asfahani dalam mufradhat gharibil al-Qur’an juz 1 h.191, menyebutkan bahwa rahmah adalah belas kasih yang menuntut kebaikan kepada yang dirahmati. Kata ini kadang-kadang dipakai dengan arti ar-riqqat al-mujarradah (الرَّقَّة اُْلُمَجَّرَدَةُ = belas kasih semata-mata) dan kadang-kadang dipakai dengan arti al-Ihsân al-mujarrad dûn ar-riqqah (الإِحْسَانُ اْلمُجَرَّدُ دُوْنَ الرِّقَّةِ = kebaikan semata-mata tanpa belas kasih). Misalnya, jika kata rahmah disandarkan kepada Allah, maka arti yang dimaksud tidak lain adalah “kebaikan semata-mata.” Sebaliknya, jika disandarkan kepada manusia, maka arti yang dimaksud adalah simpati semata. Oleh karena itu, lanjut Al-Asfahani, diriwayatkan bahwa rahmah yang datangnya dari Allah adalah in‘âm ( إِنْعَامٌ = karunia atau anugerah), dan ifdhâl (إِفْضَالُ = kelebihan) dan yang datangnya dari manusia adalah riqqah ( رِقَّةٌ = belas kasih).
Senada dengan Al-Asfahani, Ibnu Manzur di dalam Lisân al-‘Arab menyebutkan bahwa orang Arab membedakan antara kata rahmah yang disandarkan kepada anak cucu Adam dengan yang disandarkan kepada Allah. Kata rahmah yang disandarkan kepada anak cucu Adam adalah riqqat al-qalb wa 'athfih (رِقَّةُ الْقَلْبِ وَعَطْفِهِ = kelembutan hati dan belas kasihnya), sedangkan kata rahmah yang disandarkan kepada Allah adalah ‘athfuh wa Ihsânuhu wa rizquhu (عَطْفُهُ وَاِحْسَانُهُ وَرِزْقُهُ = belas kasih, kebaikan, dan rezeki-Nya).[18]
Kata rahmah yang digunakan di dalam Alquran hampir semuanya menunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , sebagai subyek utama pemberi rahmah. Atau dengan kata lain, rahmah di dalam Alquran berbicara tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan kasih sayang, kebaikan, dan anugerah rizki Allah terhadap makhluk-Nya. Kata ini sekurang-kurangnya memiliki 14 makna yang tersebar diseluruh ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut;
  1. Bermakna “dinul Islam” (الإسلام) Al-Baqarah 2: 105;
لا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ
يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ
2. Bermakna “al-Iman”لإيمان), surat Hud 11:28;
وَآتَانِي رَحْمَةً مِنْ عِنْدِهِ
3. Bermakna “al-jannat” (syurga) الجنة surat Ali Imran 3:107;
فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
4. Bermakna “al-Mathar” (hujan) المطر surat Al-‘Araf 7:57;
بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ
5. Bermakna “al-ni’mah” (kenikmatan) النعمة surat al-Nisa 4:83;
وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ 6.
6. Bermakna “al-Nubuwah” (kenabian) النبوة surat Shad 38:9 dan Al-Zuhruf 43:32;
أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَحْمَةِ رَبِّكَ
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ
7. Bermakna “al-Qur’an” القرآن surat Yunus 10:58;
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ
8. Bermakna “al-rizk” (rizki) الرزق surat al-Isra 17:100
تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي
9. Bermakna “al-Nashr, al-Fath” (pertolongan , kemenangan) النصر والفتح Al-Ahzab 33:17
إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءاً أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً
10. Bermakna “iqab” (balasan) العاقبة surat al-Zumar 39:38;
أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ
11. Bermakna “al-Mawaddah” (kasih sayang) Al-Fath 48:29
رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
12. Bermakna “al-Sa’ah” (keleluasaan) السعة al-Baqarah 2;178
ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
13. Bermakna “al-Maghfirah” (ampunan) المغفرة Al-An’am 6 :12
كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
14. Bermakna “al-ishmah” (pemeliharaan) العصمة Hud 11:43
Di samping itu, dari akar kata rahima, lahir beberapa kata yang menjadi nama dan sifat utama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Misalnya, kata ar-râhim (الرَّاحِمُ) yang disebut sebanyak 6 kali, ar-rahmân (الرَّحْمَانُ) yang berwazan fa’lân yang menunjukkan bahwa Dia mencurahkan kasih sayang yang teramat sempurna tetapi bersifat sementara tidak langgeng kepada semua makhluknya, disebut sebanyak 57 kali, dan ar-rahîm (الرَّحِيْمُ) yang berwazan fa’îl yang menunjukkan bahwa Dia terus-menerus dan secara mantap mencurahkan kasih sayang-Nya kepada orang-orang yang taat kepada-Nya di akhirat kelak, disebut sebanyak 95 kali, sekali di antaranya disebutkan untuk menyifati pribadi Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Dengan demikian, jelas bahwa subyek utama dari pemberi rahmah yang diungkap Al-Quran adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia menyifati diri-Nya dengan kasih dan sayang yang Maha Luas (rahmân), mewajibkan bagi diri-Nya sifat rahmah (QS. Al-An‘âm 6:12). Rahmah-Nya meliputi segala sesuatu (QS. Ghâfir 40:7). Rahmah-Nya ditaburkan kepada semua makhluk dan tak satu makhluk pun yang tidak menerima rahmah walau sekejap.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan,
«إِن لله مائِةَ رحمة ، أَنزل منها رحمة واحدة بين الجنِّ والإِنس والبهائمِ والهوامِّ ، فبها يتعاطفون ، وبها يتراحمون، وبها تَعْطِفُ الوَحْشُ على ولدها ، وَأَخَّرَ اللهُ تسعا وتسعين رحمة ، يرحم بها عبادَهُ يومَ القيامةِ».
Dan dalam riwayat muslim yang lain; “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki 100 rahmat, Dia menurunkan satu rahmat kepada jin , manusia, binatang ternak dan kepada singa. Dengan satu rahmat itu maka, diantara mereka saling melindungi, saling mengasihi dan dengan satu rahmat itu binatang buas melindungi anaknya, Dan Allah mengakhirkan turunnya 99 rahmat lainnya. Dan akan diberikan kepada hamba-Nya pada hari kiamat. (H.R Muslim)
Di dalam hadis lain dinyatakan bahwa Dia lebih pengasih kepada hamba-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya (HR. Bukhari). Rahmah-Nya mendahului murka-Nya (HR. Bukhari). Bahkan, musibah ataupun kesusahan yang menimpa seorang hamba pada hakikatnya adalah perwujudan dari rahmat-Nya jua. Bukankah orang tua yang menghukum anaknya yang berbuat kesalahan merupakan bukti kasih sayang orang tua tersebut kepada anaknya? Dengan demikian, rahmah-Nya adalah anugerah dan nikmat Ilahi di dalam seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.[19]
Demikian, banyak sekali ayat Al-quran maupun hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang berbicara tentang keluasan rahmah Allah. Oleh karena itu, seorang hamba tidak boleh berputus asa akan perolehan rahmah Allah sekalipun hamba tersebut telah berbuat sesuatu yang melampaui batas (QS. Az-Zumar 39:53). Seseorang yang berputus asa akan perolehan rahmah Allah dicap oleh Al-Quran sebagai orang yang sesat (QS. Al-Hijr 15:56). Sementara itu, mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya juga dicap sebagai orang-orang yang berputus asa akan perolehan rahmah Allah (QS. Al-‘Ankabût 29: 23).
Dalam hadits Imam bukhari disebutkan;
أَنَّ رسولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قال : «إِنَّ الله خَلقَ الرَّحْمَةَ يومَ خلَقَهَا مائةَ رحمةٍ، فَأْمسَكَ عندهُ تسعة وتسعينَ رحمة ، وأرسلَ في خَلقِهِ كلِّهم رحمة واحدة، فَلو يَعلمُ الكافرُ بِكلِّ الذي عند اللهِ من الرحمةِ لم يَيْأسْ مِن الجنة، ولو يعلم المُؤمن بكل الذي عندَ اللهِ من العذابِ لم يَأْمَن من النار».
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : sesungguhnya Allah menciptakan rahmat pada hari penciptaannya 100 rahmat, kemudian ditahanlah yang 99, kemudian diutuslah satu rahmat kepada setiap mahluk, seandainya orang kafir mengetahui bahwa Allah memiliki rahmat yang diberikan kepada setiap mahluk,maka dia pasti tidak akan berputus asa dari surga. Dan seandainya orang beriman mengetahui bahwa Allah memiliki adzab yang yang amat pedih maka dia tidak akan merasa aman dari neraka ” (H.R Bukhari)
Seiring dengan keluasan rahmah-Nya, Al-quran mengungkapkan bahwa rahmah Allah diberikan kepada alam secara keseluruhan, termasuk di dalamnya manusia (QS. Al-Anbiyâ’ 21:107), orang-orang yang beriman (lihat misalnya, QS. Al-Nisâ’ 4:175, QS. Al-A'râf 7:52; QS. At-Taubah 9:61; QS. Hûd 11:57), orang-orang yang berpegang teguh di dalam keimanannya (QS. An-Nisâ’ 4:175), orang-orang yang beramal saleh (QS. Al-Jatsiyah 45:30), orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. Luqmân 31:3), orang-orang yang berserah diri (QS. An-Nahl 19:89), serta orang-orang (kaum) yang yakin (QS. Al-Jâtsiyah 45:20).
Rahmah yang diturunkan oleh Allah ke alam semesta secara umum berupa pengutusan para nabi dan rasul (QS. Al-Anbiyâ’ 21:107) serta kitab petunjuk (QS. Luqmân 31:3). Rahmah yang diberikan khusus kepada orang-orang yang beriman dan taat kepada-Nya berupa penghindaran (al-ishmah) dari golongan orang-orang yang merugi (QS. Al-Baqarah 2:64) penghindaran dari azab (lihat misalnya QS. Al-A‘râf 7:72; QS. Hûd 11:58, 63, 66, 73, dan 94; serta QS. An-Nûr 24:14), perlindungan dari godaan setan (QS. An-Nisâ’ 4:83), penghindaran dari penyesatan oleh golongan orang-orang (kelompok) yang sesat (QS. An-Nisâ’ 4:113), serta pemberian keistimewaan dan ilmu ladunni yang langsung dari sisi-Nya (QS. Al-Kahf 18:65).
Para ulama menyimpulkan bahwa rahmah Allah kepada makhluk-Nya terbagi menjadi dua, yakni rahmah umum dan rahmah khusus. Rahmah umum diberikan kepada seluruh makhluk-Nya tanpa kecuali, sedangkan rahmah khusus hanya diberikan kepada makhluk-Nya yang beriman dan taat kepada-Nya. Sementara itu, ulama berpendapat bahwa dengan sifat rahman-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan karunia rahmah-Nya secara umum kepada seluruh makhluk-Nya di dunia ini tanpa kecuali, sedangkan dengan sifat rahim-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan rahmah-Nya secara khusus kepada orang-orang yang beriman dan taat kepada-Nya di akhirat kelak. Agaknya, pendapat ini disandarkan kepada salah satu prolog doa dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang menyatakan: “Ya rahmân ad-dunyâ wa rahîmu al-âkhirah” (يَارَحْمَنَ الدُّنْيَا وَرَحِيْمُ اْلأَخِرَةِ = Wahai Yang Maha Pengasih di dunia dan Maha Penyayang di akhirat).
Adapun rahîm (رَحِيْمٌ) yang menjadi sifat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam disebutkan dalam S. At-Taubah [9]: 128. Di dalam ayat ini, disebutkan empat sifat utama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, yaitu sifat ‘azîz (عَزِيْزٌ = empati yang tinggi), Harîsh (حَرِيْصٌ = sangat menginginkan [keselamatan]), raûf (رَؤُوْفٌ = amat belas kasih), dan rahîm (رَحِيْمٌ = amat penyayang). Keempat sifat ini disebutkan dalam konteks penegasan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang Arab Mekah bahwa telah diutus (datang) kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (Arab keturunan Bani Hasyim) yang memiliki sifat empati yang tinggi terhadap kesulitan dan penderitaan yang mereka alami, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi mereka, dan amat belas kasih lagi amat penyayang kepada orang-orang beriman. Frase raûfun rahîmun (رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ) yang menutup ayat ini ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir dengan: "amat belas kasih kepada orang-orang yang taat, dan amat lembut terhadap orang-orang yang berbuat dosa”.
Adapun efek orang yang mendapat rahmat tercermin dalam sebuah do’a yang senantiasa dibaca oleh Rasulullah setiap ba’da shalat;
عبد الله بن عباس - رضي الله عنهما - : قال : سمعتُ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- يقول لَيلَة حينَ فَرَغَ من صلاتِهِ : «اللَّهمَّ إني أسألُكَ رَحمة من عِنْدِكَ تَهدِي بها قَلبي ، وتجْمعُ بِها أَمري، وتَلُمَّ بِها شَعثي ، وتَرُدُّ بِها غَائبي ، وتَرفَعُ بِهَا شَاهِدِي ، وتُزكِّي بِها عَمَلي، وتُلْهِمُني بِهَا رُشْدي ، وتَرُدُّ بِها أُلفَتي ، وتَعصِمني بِهَا مِنْ كُلِّ سُوءٍ
Dari Ibnu Abbas r.a berkata : Saya mendengar Rasullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berdo’a pada saat shalat malam, : Ya Allah limpahkan padaku rahmat dari sisi-Mu, yang dengan rahmat itu hatiku mendapat petunjuk, urusanku akan sukses, masalahku akan tuntas, dan akan kembali sesuatu yang telah hilang dariku serta aku terpelihara dari segala kejelekan (H.R Tirmidzi)

  1. Penutup
Dari sedikit pemaparan diatas, dapat kita pahami bahwa perbedaan akan interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran akan menimbulkan kesimpulan-kesimpulan hukum yang berbeda pula. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap bahasa Arab dari berbagai aspeknya sangatlah penting untuk dikaji secara konperehensif sehingga kita dapat mengaktualisasikan pesan-pesan teks Al-Qur’an dalam konteks zaman kontemporer yang penuh tantangan dan problematika-problematika umat yang membutuhkan jawaban-jawaban yang dapat memberikan pencerahan terhadap ummat.
Ahkirnya penulis berharap semoga makalah yang kecil ini sedikit dapat memberikan kontribusi positif dalam rangka untuk memahami Al-Qur’an sebagai modal utama bagi umat Islam, khususnya kita sebagai generasi muda Islam sehinnga mampu menjawab tantangan zaman yang sangat kompleks. Amin….














DAFTAR KEPUSTAKAAN


Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996)
Abd. Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005
Aly Saghnaqi, Kitab Al-Wafi (Dar Al-Qahirah : 2003 )
Ibnu Rusyd, bidayah al-mujtahid, (semarang : usaha keluarga)
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo : Darul Fikr, 1997)
Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) www.Quranway.net, www.psq.or.id


[1] Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta
[2] Imam Az-Zarkasyi, Al-Bahru Al-Muhith, (Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf , 1992) jilid 2, hal. 122. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo : Darul Fikr, 1997) hal. 149. Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 326
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo : Darul Fikr, 1997) hal. 149. Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, hal. 178, Aly Saghnaqi, Kitab Al-Wafi (Dar Al-Qahirah : 2003 ) hal. 268, Abd. Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh ( Madinah : Darul Fikr Araby, 1995) hal.167
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Darul Fikr, 1997) hal. 149. Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 326
[5] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 178
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Darul Fikr, 1997) hal. 150, Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, hal. 179, Abd. Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh hal.167
[7] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 179
[8] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 327
[9] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 180, Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 327.
[10] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 327. Abd. Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh ( Madinah : Darul Fikr Araby, 1995) hal.167
[11] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181
[12] Lihat ibid hal. 180
[13] Lihat ibid hal. 182
[14] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 328
[15] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181
[16] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 329. Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181, Lihat juga Ibnu Rusyd, bidayah al-mujtahid, (semarang : usaha keluarga) jilid 1 hal. 67
[17] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181
[18] : www.Quranway.net, www.psq.or.id

[19] Ibid

2 komentar: